MANUGAL
Sebuah
peristiwa kegiatan masyarakat lima koto Kabupaten Kampar tempo dulu, sekitar tahun 60 sampai
80an terkenal dengan istilah “Manugal”. Manugal adalah sebuah kegiatan
pertanian yang dilakukan secara gotong-royong oleh sekelompok anggota
masyarakat, yakni pergi ke ladang yang sudah dibersihkan kayu semak belukarnya
oleh pemilik ladang dengan cara membakar. Pembakaran dilakukan secara
terkontrol, umpamanya diatas lahan dua sampai lima hektar yang sudah
dikelilingkan pembersihan tebasnya, sehingga tidak mungkin api pembakaran
berpindah ke lahan lainnya. Disinilah kegiatan Manugal akan dilangsungkan.
Proses
pelaksanaan Manugal dimulai dengan adanya undangan secara lisan oleh pemilik
ladang melalui surau atau mesjid di kampung. Pengumuman dilakukan oleh ketua RW
setelah wirid pengajian atau setelah shalat jum’at bunyinya seperti
“Bapak-bapak, Ibu-ibu, Pemuda-pemudi yang ada di RW I bahwasanya pada hari
minggu nanti ada undangan Manugal di ladang Pak Wahab”. Mendengar pengumuman
itu dari mulut ke mulut menyebarlah berita kegiatan Manugal yang akan dilakukan
di ladang Pak Wahab. Hampir seluruh pemuda pemudi sudah mengetahuinya dan
bersedia hadir pada kegiatan tersebut. Biasanya sang pemuda sudah mencari
pasangan untuk pergi Manugal dengan naik sepeda ontel.
Pada hari
minggu yang dijanjikan, pemuda pemudi secara berombongan berpasangan dengan
sepeda ontel memulai perjalanan menuju ladang dimaksud. Biasanya tidak kurang
dari lima puluh pasang pemuda pemudi dalam perjalanan dari rumah lebih kurang
lima sampai sepuluh kilo. Canda gurau kebahagiaan sepanjang jalan menuju
ladang. Sesampai di ladang terlihatlah lahan yang kosong habis pembakaran
terbatas yang subur karena abu abu pembakaran. Pemilik ladang menyambut baik
kedatangan rombongan, sebelum bekerja biasanya disuguhkan sarapan pagi, kopi,
teh, goreng pisang, goreng ubi, ketan, makanan-makanan alami yang sudah
membudaya, setelah itu barulah dimulai kegiatan Manugal.
Kegiatan
Manugal itu yakni masing-masing pemuda dan pemudi memegang tongkat yang
diruncingkan ujungnya. Tongkat tersebut di hentakkan ke tanah dan bergantian
maju seukuran 20 cm dan berjalan sampai ke ujung lahan, biasanya tongkat di
hentakkan oleh pemuda sedangkan pemudi memasukkan benih padi ke dalam lubang
tanah bekas hentakan. Peristiwa itu berlangsung seharian dengan target seluruh
tanah sudah di tugal dan sudah diisi benih tani. Pada tengah harinya biasanya
diisi dengan kegiatan istirahat shalat makan (isoma). Menu makan siangnya tidak
tanggung-tanggung, biasanya tuan rumah merendang daging pada kuali yang besar
ukuran 20 kg. Ditambah dengan sayur mayur segar hasil kebun. Penulis sangat
terkesan dengan kebersamaan peserta Manugal waktu itu dan ditandai dengan makan
besar yang sedap ditengah hutan di hembus angin sepoi-sepoi.
Selama
kegiatan Manugal, canda gurau menghibur seluruh peserta Manugal. Tidak ada
sedikitpun dari peserta Manugal yang menggambarkan wajah sedih, semuanya penuh
dengan kegembiraan akibat canda gurau masing-masing pemuda dan pemudi.
Peristiwa itu berlangsung dengan mulus, masing-masing anggota Manugal tidak
memiliki beban pikiran sedikitpun, yang ada adalah kebahagiaan batin diantara
mereka. Padahal seluruh peserta Manugal yang sudah bekerja seharian ini tidak
mengharapkan gaji dari pemilik ladang, mereka ikhlas membantu prosesi Manugal
dan pemilik ladang ikhlas pula melayani makan minum yang memuaskan untuk
mereka.
Pada sore hari
setelah shalat ashar sang rombongan pulang menuju kampung dengan penuh canda
gurau juga. Sepertinya mereka tidak ada yang lelah, ini mungkin akibat
kegembiraan sesama mereka. Menjelang magrib rombongan sudah sampai di kampung
tempat tinggal, mereka berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing. Inilah
peristiwa Manugal yang tidak mungkin lagi terjadi di daerah lima koto mengingat
ladang rakyat yang dahulu tidak ada lagi, sekarang sudah bertukar dengan kebun
sawit milik perusahaan-perusahaan besar yang dahulunya adalah tempat bersenda
gurau anak negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar