Kamis, 09 April 2015


MANUGAL

Sebuah peristiwa kegiatan masyarakat lima koto Kabupaten Kampar tempo dulu, sekitar tahun 60 sampai 80an terkenal dengan istilah “Manugal”. Manugal adalah sebuah kegiatan pertanian yang dilakukan secara gotong-royong oleh sekelompok anggota masyarakat, yakni pergi ke ladang yang sudah dibersihkan kayu semak belukarnya oleh pemilik ladang dengan cara membakar. Pembakaran dilakukan secara terkontrol, umpamanya diatas lahan dua sampai lima hektar yang sudah dikelilingkan pembersihan tebasnya, sehingga tidak mungkin api pembakaran berpindah ke lahan lainnya. Disinilah kegiatan Manugal akan dilangsungkan.
Proses pelaksanaan Manugal dimulai dengan adanya undangan secara lisan oleh pemilik ladang melalui surau atau mesjid di kampung. Pengumuman dilakukan oleh ketua RW setelah wirid pengajian atau setelah shalat jum’at bunyinya seperti “Bapak-bapak, Ibu-ibu, Pemuda-pemudi yang ada di RW I bahwasanya pada hari minggu nanti ada undangan Manugal di ladang Pak Wahab”. Mendengar pengumuman itu dari mulut ke mulut menyebarlah berita kegiatan Manugal yang akan dilakukan di ladang Pak Wahab. Hampir seluruh pemuda pemudi sudah mengetahuinya dan bersedia hadir pada kegiatan tersebut. Biasanya sang pemuda sudah mencari pasangan untuk pergi Manugal dengan naik sepeda ontel.
Pada hari minggu yang dijanjikan, pemuda pemudi secara berombongan berpasangan dengan sepeda ontel memulai perjalanan menuju ladang dimaksud. Biasanya tidak kurang dari lima puluh pasang pemuda pemudi dalam perjalanan dari rumah lebih kurang lima sampai sepuluh kilo. Canda gurau kebahagiaan sepanjang jalan menuju ladang. Sesampai di ladang terlihatlah lahan yang kosong habis pembakaran terbatas yang subur karena abu abu pembakaran. Pemilik ladang menyambut baik kedatangan rombongan, sebelum bekerja biasanya disuguhkan sarapan pagi, kopi, teh, goreng pisang, goreng ubi, ketan, makanan-makanan alami yang sudah membudaya, setelah itu barulah dimulai kegiatan Manugal.
Kegiatan Manugal itu yakni masing-masing pemuda dan pemudi memegang tongkat yang diruncingkan ujungnya. Tongkat tersebut di hentakkan ke tanah dan bergantian maju seukuran 20 cm dan berjalan sampai ke ujung lahan, biasanya tongkat di hentakkan oleh pemuda sedangkan pemudi memasukkan benih padi ke dalam lubang tanah bekas hentakan. Peristiwa itu berlangsung seharian dengan target seluruh tanah sudah di tugal dan sudah diisi benih tani. Pada tengah harinya biasanya diisi dengan kegiatan istirahat shalat makan (isoma). Menu makan siangnya tidak tanggung-tanggung, biasanya tuan rumah merendang daging pada kuali yang besar ukuran 20 kg. Ditambah dengan sayur mayur segar hasil kebun. Penulis sangat terkesan dengan kebersamaan peserta Manugal waktu itu dan ditandai dengan makan besar yang sedap ditengah hutan di hembus angin sepoi-sepoi.
Selama kegiatan Manugal, canda gurau menghibur seluruh peserta Manugal. Tidak ada sedikitpun dari peserta Manugal yang menggambarkan wajah sedih, semuanya penuh dengan kegembiraan akibat canda gurau masing-masing pemuda dan pemudi. Peristiwa itu berlangsung dengan mulus, masing-masing anggota Manugal tidak memiliki beban pikiran sedikitpun, yang ada adalah kebahagiaan batin diantara mereka. Padahal seluruh peserta Manugal yang sudah bekerja seharian ini tidak mengharapkan gaji dari pemilik ladang, mereka ikhlas membantu prosesi Manugal dan pemilik ladang ikhlas pula melayani makan minum yang memuaskan untuk mereka.
Pada sore hari setelah shalat ashar sang rombongan pulang menuju kampung dengan penuh canda gurau juga. Sepertinya mereka tidak ada yang lelah, ini mungkin akibat kegembiraan sesama mereka. Menjelang magrib rombongan sudah sampai di kampung tempat tinggal, mereka berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing. Inilah peristiwa Manugal yang tidak mungkin lagi terjadi di daerah lima koto mengingat ladang rakyat yang dahulu tidak ada lagi, sekarang sudah bertukar dengan kebun sawit milik perusahaan-perusahaan besar yang dahulunya adalah tempat bersenda gurau anak negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut